Minggu, 18 Februari 2018


Kesurupan ..........

Tulisan ini mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang proses terjadinya kesurupan massal yang menjadi fenomena menarik saat ini. Saat melakukan pelatihan HiGest, penulis seringkali mendapat pertanyaan tentang bagaimana terjadinya proses kesurupan massal di sekolah. Apakah hal ini adalah proses supranatural ataukah dapat dijelaskan dengan mempergunakan teori Gestalt?
Saat menjawab pertanyaan itu, saya menegaskan bahwa saya bukan ahli dalam bidang supranatural. Jika permasalahan itu ditangani oleh pihak-pihak yang memahami dunia supranatural, maka sebaiknya para konselor “mendiamkan dulu”, sebab sudah ada “ahli” yang menanganinya. Jika tidak ada “ahli” lain? Konselor sebaiknya mendiamkan siswa yang dalam kondisi “kesurupan” itu, sambil menjaga mereka untuk tidak melukai diri sendiri dan orang lain. Peserta pelatihan HiGest bertanya, “alasannya pak?”
Teori gestalt merupakan teori konseling yang mencoba untuk menggabungkan semua teori konseling yang ada. Hal ini menjadi prinsip Gestalt tentang keseluruhan (whole). Penggabungan ini justru memunculkan sifat saling melengkapi (complementary) terhadap teori Gestalt itu sendiri.
Teori gestalt menyatakan bahwa orang yang sehat adalah mereka yang sadar (awareness) terhadap kondisi pikiran, emosi serta perilakunya pada kondisi di sini dan saat ini (here and now). Permasalahan siswa saat ini seringkali ditimbulkan karena adanya masalah yang belum selesai (unfinished business) antara siswa dengan orang lain (significant other). Penyelesaian masalah yang tidak tuntas atau tidak dapat diselesaikan akan disimpan dalam alam bawah sadara siswa (siswa). Jika siswa dapat dengan segera menuntaskan masalahnya, maka pada dasarnya mereka telah menyalurkan energi-energinya secara positif, tetapi jika dia tidak dapat melakukan upaya memecahkan masalah maka sebenarnya mereka telah menghambat energinya (block to energy).
Kondisi yang terjadi saat “kesurupan” sebenarnya merupakan luapan energi-energi yang terhambat dan disimpan di alam bawah sadar. Freud menyebutnya sebagai sampah-sampah yang disimpan di alam bawah sadar. Energi-energi yang disimpan ini mirip dengan id yang selalu ingin menyelesaikan masalahnya. Penyelesaian masalah ini seringkali bersifat destruktif atau merusak.
Saat siswa tidak dalam kondisi here and now (misal: melamun), maka sebenarnya dia tidak dalam kondisi sadar. Gestalt memahami bahwa antara alam sadar dan tidak sadar itu memiliki batas yang relatif tipis, dan itu rentan untuk ditembus oleh kekuatan-kekuatan energi yang dihambat atau id. Sesorang yang dalam melamun karena adanya masalah yang belum selesai seringkali mengalami masalah-masalah “kesurupan”. Hal ini dikarenakan saat siswa dalam kondisi melamun, maka alam ambang sadar atau pintu ambang sadarnya menjadi terbuka. Kondisi ini memberikan kesempatan kepada energi-energi yang diblokir atau id yang dipendam lama memiliki kesempatan untuk menerobos ke alam sadar siswa. Waktu yang dibutuhkan untuk menerobos alam ambang sadar tidak lama, bahkan sangat singkat.
Apabila energi negatif yang tersimpan atau id yang ditahan di alam bawah sadar keluar, maka tidak menutup kemungkinan akan mendorong siswa untuk bertindak atau berperilaku negatif bahkan destruktif. Perilaku negatif ini seperti menangis, berteriak, memukul dan lain sebagainya. Pada dasarnya perilaku negatif ini merupakan katarsis bagi siswa untuk melepaskan energi-energi yang selama ini ditahan, atau menjadi sarana bagi id untuk memperoleh kenikmatan.
Pada kasus “kesurupan” massal, proses yang dialami oleh masing-masing siswa pada dasarnya sama. Mereka tidak dalam kondisi di sini dan saat ini. Saat mereka melihat teman mereka dalam kondisi “kesurupan”, seringkali mereka terkejut. Kondisi terkejut yang terjadi dalam beberapa detik, pada dasarnya mengarahkan mereka untuk masuk ke alam ambang sadar. Ironisnya, mereka seringkali memiliki masalah yang belum terselesaikan juga, sehingga energi-energi yang selama ini dipendam juga muncul. Jika terjadi pada banyak siswa di sekitarnya, maka akan muncul kondisi “kesurupan” massal.
Pada dasarnya untuk menangani siswa yang “kesurupan” adalah dengan memberikan kesempatan bagi mereka untuk melakukan katarsis. Artinya jika konselor menemukan kasus seperti ini, maka sebaiknya konselor membiarkan terlebih dahulu sambil mengamati apakah katarsis ini menuju pada perilaku destruktif atau tidak. Jika siswa tidak menunjukkan perilaku destruktif, maka boleh dibiarkan, tetapi jika menunjukkan perilaku destruktif seperti memukul, atau menabrakkan kepala ke tembok, maka konselor sebaiknya menahan siswa tersebut sampai dalam kondisi lemas.
Siswa yang mengalami katarsis akan merasakan lemas saat energi-energi yang ditahannya telah keluar. Saat siswa dalam keadaan lemas ini, sebaiknya konselor juga tidak memberikan reaksi yang berlebihan. Konselor cukup memberikan senyuman kepada siswa tersebut. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa siswa tidak sendirian dalam kondisi ini. Setelah kurang lebih 10 menit, dan konselor melihat kondisi siswa sudah tenang, maka selanjutnya konselor boleh memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa tentang apa yang sudah terjadi.


Jumat, 09 Februari 2018


PENDEKATAN GESTALT DALAM PERSPEKTIF BUDAYA
(Aplikasinya dalam praktik konseling di Indonesia)

Oleh
Boy Soedarmadji, S.Pd., M.Pd., CHt

Latar Belakang
Saat ini media sosial sering memunculkan berita tentang kasus-kasus yang dilakukan oleh para siswa, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat pada umumnya. Beberapa kasus yang terjadi di lingkungan sekolah dan masyarakat saat ini membuat miris bagi orang yang menyaksikan atau membacanya.
Salah satu kasus yang menjadi viral di media massa dan media sosial baru-baru ini adalah perilaku penganiayaan yang dilakukan oleh seorang siswa kepada gurunya, yang (mungkin) menyebabkan gurunya meninggal dunia saat sampai di rumah sakit. Kasus tersebut menjadi polemik baik di kalangan guru, siswa, perguruan tinggi bahkan di masyarakat.
Polemik yang muncul di media sosial cenderung untuk membela guru sebagai seorang pahlawan yang meninggal saat bertugas. Tidak sedikit simpati yang diberikan kepada guru tersebut.
Pada sisi lain, siswa sebagai “pelaku penganiayaan” mendapatkan perlakuan yang berbanding terbalik. Siswa ini mendapatkan hujatan yang sangat keras di masyarakat. Cacian dan label-label negatif diberikan kepada siswa ini. Bahkan demi “pengamanan”, siswa ini telah “diamankan” oleh pihak berwajib setempat.

Kondisi Sisiokultural
Indonesia dikenal dengan keragaman etnis dan budaya. Lebih dari 367 etnis yang ada di Indonesia. Kesemuanya memiliki keragaman nilai yang menjadikan kekayaan tiada terkira. Keragaman ini pada akhirnya akan memunculkan individu-individu yang unik, dimana mereka berpikir, merrasakan dan berperilaku yang berbeda sesuai dengan apa yang telah dipelajari atau diturunkan oleh lingkungan.
Sifat budaya ada dua yaitu budaya yang bersifat khas (unik) dan budaya yang bersifat umum. Nilai budaya yang khas (unik) adalah suatu nilai yang dimiliki oleh bangsa tertentu. Lebih dari itu, ni­lai‑nilai ini hanya dimiliki oleh masyarakat atau suku/ etnis tertentu dimana keunikan ini berbeda dencan kelompok atau bangsa lain. Keunikan nilai ini dapat meniadi barometer untuk mengenal bangsa atau kelompok tertentu.
Nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tertentu pada umumnya dianggap mutlak kebenarannya. Hal ini tampak pada perilaku yang ditampakkan oleh anggota masyarakat itu. Mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang dianggap benar itu dapat dijadikan panutan dalam menialani hidup sehari‑hari. Selain itu, nilai budaya yang diyakini kebe­narannya tersebut dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah yang timbul. Dengan kata lain bahwa nilai budaya tertentu yang ada dalam suatu masyarakat mempunyai suatu cara tersendiri untuk memecahkan permasa­lahan yang timbul dalam anggota masyarakat tersebut (Lee & Sirch, 1994).
Suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya). Dengan demikian, Suatu hasil budaya kelompok masyarakat tertentu akan dianggap lebih tinggi dan bahkan mungkin lebih diinginkan. Hal ini dilakukan agar kelompok masyarakat tertentu itu memiliki derajat atau tingkatan yang lebih baik dari "tetangganya". Dengan kata lain bahwa budaya merupakan cara hidup suatu kelompok tertentu yang diturunkan kepada setiap generasi kelompok tersebut (Vontress, 2006).
Supriatna (2008)  menyatakan khusus dalam kebudayaan Jawa, ketaatan merupakan sifat yang dinilai sangat tinggi. Anak yang manut (yaitu taat) adalah anak yang sangat terpuji, sementara anak yang selalu mempunyai kehendak sendiri dan gemar mengeksplorasi segala hal di sekitarnya, dianggap mengganggu dan tidak dianggap sebagai anak yang sopan dan santun.
Budaya universal mengandung pengertian bahwa nilai‑nilai yang dimiliki oleh semua lapisan masyarakat. Nilai‑nilai ini dijunjung tinggi oleh segenap manusia. Dengan demikian, secara umum umat manusia yang ada dunia ini memiliki ke­samaan nilai‑nilai tersebut. Contoh dari nilai universal ini antara lain manusia berhak menentukan hidupnya sendi­ri, manusia anti dengan peperangan, manusia mementingkan perdamaian, manusia mempunyai kebabasan dan lain‑ lain.
Proses kepemilikan budaya dari generasi ke generasi tidak bersifat herediter. Proses kepemilikan budaya antar generasi melalui proses belajar (Ihrom, 1988). Hal ini menunjukkan bahwa peran orang yang lebih tua akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan budaya itu sendiri. Pengertian sosialisasi dalam bahasan ini adalah suatu proses yang harus dilalui manusia muda untuk memperoleh nilai‑nilai dan pengetahuan mengenai kelompoknya dan belajar mengenai peran sosialnya yang cocok dengan kedudukannya di situ (Goode, 1991).

Pendekatan Gestalt
Pendekatan Gestalt diperkenalkan oleh Frederick Perls (1893-1970) dan Laura (Lore) Posner (1905-1990). Dimana kedua orang ini (yang kemudian menjadi suami istri) secara intensif melakukan kolaborasi dalam mengembangkan teori Gestalt, hingga akhirnya pada tahun 1952 mendirikan New York Institute for Gestalt Therapy. Pendekatan Gestalt ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia memiliki untuk melakukan perubahan-perubahan pada dirinya sendiri.
Sebagai salah satu aliran humanistik, maka Gestalt meyakini bahwa individu harus dipahami dunianya dengan memperhatikan tiga kondisi yaitu a) sebagai keseluruhan yang penuh arti (whole and meaningfull), b) kesadaran di sini dan saat ini (here-and-now), dan c) pengalaman individu dilihat melalui introspeksi. Selain itu, aliran humanistik memiliki karakteristik a) memandang manusia sebagai individu yang tidak mekanistik, b) tidak menerima prinsip-prinsip determinasi, c) memandang indiviu sebagai subyek, c) berpusat pada status holistik untuk memahami perilaku manusia dan, d) tiap perilaku individu unik, sehingga penyelesaian masalah harus didasarkan pada kesadaran mereka melihat dunianya.
Pendekatan Gestalt memiliki keunikan tersendiri yang mampu menunjukkan eksistensinya dalam aliran humanistik. Perls (dalam McLeod, 2006) menyatakan bahwa Gestalt menentang segala sesuatu yang yang terlalu rasional, atau apa yang disebutnya dengan “omong kosong”. Karena itu pendekatannya memberikan fokus kepada pengalaman atau kesadaran konseli “saat ini”, dengan tujuan menghilangkan halangan untu melakukan kontak autentik dengan lingkungan karena pola lama (unfinished bussines).
Pendekatan Gestalt memiliki delapan asumsi pandangan tentang manusia.  Kedelapan asumsi tersebut adalah:
  • Manusia merupakan suatu komposisi yang menyeluruh (whole) yang diciptakan dari adanya interrelasi bagian-bagian. Tidak ada satu bagian tubuh (tubuh, emosi, pemikiran, perhatian, sensasi dan persepsi) yang dapat dipahami tanpa melihat manusia itu secara keseluruhan;
  • Seseorang juga merupakan bagian dari lingkungannya dan tidak dapat dipahami dengan memisahkannya
  • Seseorang memilih bagaimana merespon stimuli eksternal, dia merupakan aktor dalam dunianya dan bukan reaktor
  • Seseorang mempunyai potensi untuk secara penuh menyadari keseluruhan sensasi, pemikiran, emosi, dan persepsinya
  • Seseorang mampu untuk membuat pilihan karena kesadarannya
  • Seseorang mempunyai kemampuan untuk menentukan kehidupan secara efektif;
  • Seseorang tidak mengalami masa lalu dan masa yang akan datang; mereka hanya akan dapat mengalami dirinya pada saat ini
  • Seseorang itu pada dasarnya baik dan bukan buruk.


Lebih lanjut, Yontef (1993) menyatakan bahwa hubungan antara konselor dengan konseli memiliki empat karakteristik yaitu:
  • Penyertaan. Karakteristik ini merupakan keterampilan tingkat tinggi, karena konselor dituntut untuk dapat melakukan empati, yaitu menempatkan diri konselor secara penuh dalam kerangka pengalaman konseli, tanpa ada unsur penilaian, analisis atau penafsiran. Hal ini sangat penting dilakukan agar konseli tetap berada dalam keadaan otonom dan menghindari regresi, sehingga kesadaran akan dapat muncul.
  • Keberadaan. Gestalt mengakui bahwa keberadaan konselor dengan konseli dapat dilakukan melalui sebuah proses dialog. Keberadaan konselor bersama konseli memungkinkan konselor melakukan observasi dan penggalian pengalaman, perasaan, pengalaman dan pikiran yang dimiliki oleh konseli. Keberadaan ini akan memunculkan kepercayaan konseli, sehingga apa yang diungkapkan oleh konseli bukan merupakan proyeksi masa lalunya.
  • Komitmen untuk dialog. Gestalt mengakui bahwa untuk proses konseling, maka konseli sebaiknya memiliki komitmen untuk melakukan dialog (kontak) secara aktif dengan konselor. Komitmen untuk dialog ini secara langsung akan menampakan proses internal yang terjadi dalam diri konseli, sehingga akan terhindar adanya manipulasi-manipulasi data yang dilakukan oleh konseli. Jika ini terjadi, maka konseli akan mampu mengendalikan dirinya dan “hidup” pada saat ini.
  • Dialog yang hidup. Dialog yang hidup diartikan sebagai “mengalami saat ini” daripada hanya berbicara “tentang” atau “melihat sesuatu”. Proses dialog ini merupakan sebuah proses sharing dari apa yang dirasakan oleh konseli pada saat ini, sehingga energai yang dimiliki oleh konseli dapat tersalurkan. Dalam dialog ini, sebenarnya konseli melakukan proses dialog dengan dirinya sendiri. Dia mencari sumber masalahnya, menyadari bahwa dia memiliki masalah, mencari alternatif pemecahan masalahnya dan akhirnya memecahkan masalahnya sendiri


Pendekatan Gestalt secara umum memiliki perhatian terhadap kondisi yang mempengaruhi proses konseling. Beberapa hal ini adalah keseluruhan (holism), teori medan (field theory), pengorganisasian dan manipulasi (The Figure-Formation Process), proses menjaga keseimbangan (Organismic Self-Regulation), saat ini (the now), urusan yang belum selesai (unfinished bussiness), kontak dan resistensi terhadap kontak (contact & resisstance to contact), energi dan blok energi (energy & block of energy) (Perls, dalam Corey, 2013).
Secara singkat, penerapannya sebagai berikut, bahwa kejadian (masalah) yang terjadi saat ini (now) dilihat sebagai sebuah keseluruhan (whole) bagian diri individu. Keseluruhan ini berarti memandang masalah individu sebaiknya dilihat dalam kacamata internal dan eksternal individu (field theory). Masalah yang muncul saat ini seringkali karena individu memiliki masalah yang belum terselesaikan (unfinished business) dengan lingkungannya atau dengan orang yang dikenalnya (contact), sehingga individu melakukan upaya menhentikan hubungan dengan lingkungannya (block contact). Upaya memblokir ini (block energy) pada dasarnya merupakan sebuah wujud dari ciri-ciri individu yang memiliki masalah. Secara tidak disadari, individu melakukan upaya-upaya menjaga keseimbangan dirinya dengan lingkungannya (Organismic Self-Regulation), walaupun upaya ini seringkali memunculkan masalah bagi individu. Oleh sebab itu, tujuan konseling Gestalt adalah membangun kesadaran terhadap apa yang terjadi pada saat ini, dengan mengumpulkan data masa lalu dan masa depan individu.

Aplikasi
Berdasar pada beragamnya budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, menjadikan proses konseling di Indonesia menjadi sangat unik. Konselor dituntut untuk dapat memahami masing-masing budaya konseli, terutama saat konselor melakukan praktik konseling di daerah konseli.
Masyarakat Indonesia selalu mencoba untuk berada dalam dua sisi yang berbeda, yaitu sisi modern dan sisi tradisional. Pada­ sisi modern, masyarakat Indonesia berupaya untuk tidak ketinggalan dengan kemajuan jaman. Sebab masih terdapat keyakinan bahwa bangsa ini akan maju jika mereka bisa menguasai teknologi modern. Hal ini dapat dilihat pada perkembangan IPTEK di Indonesia yang semakin pesat. Hampir seluruh kehidupan masyarakat kita saat ini bergantung pada teknologi. Di lain pihak, masyarakat Indonesia juga masih mempercayai hal‑hal yang bersifat tradisional (supranatural). Hal ini merupakan peninggalan budaya nenek moyang yang masih sulit untuk ditinggalkan.
Perls (dalam Corey, 2013) menyatakan bahwa pendekatan Gestalt memiliki kesempatan untuk bisa dilakukan dalam latar budaya yang berbeda, terutama dalam masyarakat, dimana masih terjadi polaritas pandangan. Bahkan seringkali bisa dilaksanakan pada suatu budaya, dimana budaya yang dimiliki oleh konseli adalah budaya perilaku non verbal.
Apa yang telah dinyatakan dalam teori Gestalt, rupanya terjadi pada budaya masyarakat Indonesia. Sampai saat ini, masyarakat Indonesia masih “terjebak” dalam polaritas kehidupan, Di satu sisi, mereka ingin disebut sebagai bangsa yang melek teknologi dan di sisi lainnya mereka masih sulit untuk meninggalkan tradisi budaya. Ironisnya, dua kutub ini seringkali bertentangan.
Terlebih, budaya kita (sebagai masyarakat timur) seringkali menunjukkan perilaku-perilaku manusia yang “sopan” seperti tidak boleh mengatakan “tidak” kepada orang yang lebih dituakan. Dimana penolakan yang tidak diutarakan tersebut lebih diekspresikan kepada perilaku-perilaku non verbal yang seringkali tidak disadari oleh individu. Apa yang dilakukan oleh individu, yang mana perilaku individu tersebut tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang lain, maka seringkali pula hal ini menjadi sebuah masalah yang belum selesai (unfinished business). Mengapa? Karena individu yang saat ini berposisi sebagai orang yang “lemah” tidak berani “melawan” (underdog) orang lain yang dianggap lebih kuat (top dog). Penolakan (introjections) ini akan memunculkan perilaku-perilaku yang menyimpang, dan seringkali tidak disadari.
Beberapa pengalaman penulis dalam proses konseling dengan siswa sekolah menengah, kasus-kasus ini seringkali terjadi. Siswa (karena budaya) seringkali tidak berani untuk beradu argumentasi dengan orang tua atau orang yang lebih dituakan. Sehingga keadaan ini memunculkan perilaku wadul. Siswa merasa bahwa dengan mengeluarkan uneg-unegnya (karena ketidak setujuan) merasa lebih baik. Tetapi pada dasarnya masalah itu belum selesai, karena mereka hanya bercerita masa lalunya saja (unfinished bussiness) dengan orang tua atau orang yang dituakan. Mereka masih belum bisa berorientasi tantang apa yang apa yang yang akan dilakukan dan bagaimana mereka akan menyelesaikan masalahnya.
Sebagai salah satu contoh, saat siswa akan memilih sebuah jurusan di sekolah. Seringkali siswa ini mengalami kebingungan untuk memilih jurusan IPA atau IPS. Kebingungan ini disebabkan karena orang tua menekankan kepada anak untuk memilih jurusan tertentu, padalah jurusan yang dipilih oleh orang tua dianggap anak sebagai jurusan yang berat. Tetapi, karena anak tidak berani untuk beragumentasi (takut kualat) maka dia diam saja dan memilih jurusan yang pada hakikatnya tidak disukai. Setelah siswa ini memilih jurusan tersebut, maka seringkali perilaku-perilaku tidak produktif muncul seperti suka membolos, sering datang terlambat, mengganggu teman atau bahkan membenci guru laki-laki (karena tekanan berasal dari orang tua laki-laki dan masih banyak perilaku tidak produktif lainnya.
Salah satu strategi konseling yang dapat dipergunakan untuk menangani masalah terkait dengan masyarakat timur antara lain adalah latihan dialog internal (the internal dialogue exercise) atau lebih dikenal dengan terapi kursi kosong (empty chair therapy). Strategi konseling ini lebih mengajak konseli untuk bisa memahami percakapan diri yang selama ini ditolak dan berusaha untuk bisa memilikinya kembali. Fokus pada latihan ini adalah memusatkan konseli untuk bisa memahami posisi top dog dan underdog.
Posisi top dog menggambarkan suatu poisisi dimana seseorang dapat menjadi sangat berkuasa, orang yang selalu benar, orang yang harus dituruti, orang yang sangat bermoral. Ini ditunjukkan dengan perilaku orang tua yang selalu mengatakan “kamu harus…” atau “sebaiknya….”. Sebaliknya, posisi underdog adalah memposisikan seseorang yang tidak mampu melakukan sesuatu, orang yang selalu bertahan, orang yang lemah dan orang tidak memiliki kekuatan apapun.
Penggunaan strategi empty chair ini pada intinya adalah membantu konseli untuk dapat mengeluarkan apa-apa yang selama ini telah ditolaknya (unfinished business). Penolakan (introjections) yang dirasakan oleh individu secara lambat laun akan muncul ke permukaan dan individu diajak oleh konselor untuk menyadarinya dan menerimanya.
 Simpulan
Pendekatan Gestalt lebih terfokus untuk membantu konseli agar sadar terhadap perilaku di masa lampau dapat mengganggu efektifitas kehidupan pada saat ini. Dalam situasi dimana senbuah masyarakat hidup dalam dua budaya, maka pendekatann Gestalt memiliki kesempatan untuk dapat dikembangkan. Beberapa budaya ketimuran yang adi luhung, secara tidak langsung juga menyumbang permasalahan bagi individu. Permasalahan ini muncul karena pada satu sisi individu berusaha untuk melestarikan nilai budaya yang diyakini, tetapi di lain pihak, kehidupan yang serba “modern” mengakibatkan individu seringkali tidak bisa mengutarakan pendapatnya, sehingga pada akhirnya ini memunculkan urusan yang belum selesai.

Referensi
Corey, Gerald. 2013. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (8th ed). Belmont: Thomson Brooks/Cole.
Cottone, Rocco. 1992. Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacon.
Goode, William. 1991. Sosiologi Keluarga (terjemahan oleh Lailahanum Hasyim). Jakarta: Bumi Aksara.
Kirchner, Maria. 2000. Gestalt Therapy Theory: An Overview. www.newyorkgestalt.org, diakses tanggal 31 Desember 2008.
McLeod, John. 2006. Pengantar Konseling: teori dan studi kasus. Jakarta: Kencana.
Supriyatna, Mamat. 2007. Konseling Lintas Budaya Sebagai Strategi Sosialisasi Penuntasan WAJAR 9 Tahun. Pelangi Pendidikan. Diakses tanggal 26 Januari 2008.
Vontrees, Clemmont. Culture and Counseling. www.ac.wwu.edu/culture/Vontress.htm  Diakses tanggal 18 Juli 2006.
Yontef, Gary. 1993. Gestalt Therapy: An Introduction. www.gjpstore.com, diakses tanggal 31 Desember 2008.


Sabtu, 03 Februari 2018


01022018

Saya terkejut setelah mendengar berita adanya siswa sekolah yang ditangkap oleh polisi dengan sangkaan telah melakukan penganiayaan terhadap guru, hingga guru tersebut meninggal. Kondisi ini langsung mengarahkan saya untuk berpikir apa yang telah terjadi dalam dunia pendidikan kita? khususnya bidang Bimbingan dan Konseling sebagai bidang perhatian saya selama ini.
Tulisan ini tidak bertujuan untuk “menyalahkan” atau “memojokkan” peran Konselor sekolah dan di sisi lain tidak bertujuan untuk “membela” siswa yang telah melakukan pelanggaran hukum.
Saya mencoba untuk memandang tulisan ini dari teori Gestalt. Gestalt memandang individu sebagai sosok positif. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada manusia yang tidak baik. Sebuah masalah muncul karena seseorang tidak menyadari apa yang dilakukan pada saat ini. Pada umumnya masalah yang muncul pada saat ini karena adanya akumulasi permasalahan di masa lalu, atau adanya adanya impian-impian yang mungkin tidak dapat dilaksanakan. Permasalahan masa lalu bisa terjadi karena adanya urusan yang belum selesai, utamanya dengan orang-orang yang signifikan (mis: orang tua, teman dekat, guru dll). Mereka tidak menyadari bahwa mereka memiliki masalah. Permasalahan ini pada akhirnya akan membentuk perilaku pada saat ini (here and now). Uniknya, perilaku bermasalah ini muncul dengan tidak disadari oleh siswa.
Dalam teori Gestalt, kasus ini terjadi karena ada kemungkinan siswa tersebut memiliki urusan yang belum selesai (unfinished business) dengan guru yang menjadi korban, atau mungkin dengan guru lain. Pernyataan guru yang bersangkutan bisa jadi sudah dilakukan berulang kali, atau pernyataan yang sama sudah dilakukan oleh guru lain secara berulang-ulang, dan siswa tidak mampu menyatakan ketidaksenangannya (block energy). Dalam kasus ini, siswa dalam posisi under dog. Posisi under dog merupakan sebuah posisi “kalah”. Kondisi “kalah” ini merupakan sebuah posisi yang tidak disukai oleh id. Id akan selalu berusaha untuk menyelesaikan masalahnya dengan caranya sendiri.
Dalam kasus ini, siswa hanya melihat bahwa yang melakukan adalah sosok guru. Pernyataan negatif yang sering diterima oleh siswa ini dipendam pada alam bawah sadarnya, karena mungkin saat kondisi sadarnya siswa ini tidak mampu untuk “melawan”. Jika ini terjadi secara berulang-ulang, maka akan menjadi tumpukan sampah yang mengendap dalam alam bawah sadarnya.
Tumpukan sampah ini memiliki tingkat batas tertentu, yang akan meledak pada saat tumpukan itu sudah jenuh. Ledakan itu akan dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, yang biasanya bersifat destruktif atau merusak. Luapan ini seringkali tidak disadari oleh siswa, karena perilaku ini didorong oleh id yang ingin mencari kebebasan atau kesenangan. Beberapa referensi menunjukkan bahwa perpindahan dari alam tidak sadar ke alam sadar hanya dibatasi oleh alam ambang sadar yang sangat tipis dan mudah sekali terbuka, apalagi jika masalah atau tmpukan masalah sudah mencapai ttik nadirnya.
Terkait dengan kasus Sampang, saat siswa ditegur oleh gurunya, ada kemungkinan dia merasa tidak nyaman. Kondisi tidak nyaman ini pada dasarnya sudah membuat batasan alam ambang sadarnya terbuka. Saat alam ambang sadarnya terbuka, maka tumpukan sampah akan keluar dengan tidak terkendali dan biasanya terwujud dalam bentuk perilaku yang negatif. Kekuatan sampah negatif ini akan mendorong perilaku negatif seperti berteriak, memukul atau perilaku negatif lainnya. Biasanya pelaku yang dikuasai oleh sampah-sampah negatif ini akan melakukannya dengan membabi buta (orang mengatakan buta mata) sampai seluruh energi yang ditahan (block energy) keluar semua. Biasanya perilaku siswa setelah melakukan hal itu adalah ngos-ngosan.
Berdasar pada kejadian ini, ada pertanyaan yang mendasar. Apakah yang sudah dilakukan oleh para konselor kita (termasuk saya)? Pertanyaan yang menyelimuti otak saya adalah, a) apakah pekerjaan kita sebagai konselor sudah didasarkan pada teori konseling? Jika ya, teori konseling apa yang dijadikan rujukan oleh konselor?, b) apakah kita sudah melakukan deteksi masalah dengan mempergunakan istrumen yang ada (mis: DCM atau AUM)? Jika sudah, apa bentuk penanganan kita?, dan c) masihkah kita mempergunakan “seragam” guru dan bukan sebagai konselor?
Pertanyaan tersebut mungkin dapat kita pergunakan sebagai alat untuk mendeteksi kinerja kita sebagai konselor baik di sekolah maupun di tempat lain. Artinya apa? Saat kita melakukan pekerjaan dengan mengatas namakan konseling, maka orang yang berhak melakukan konseling (utamanya di sekolah) adalah konselor. Setiap kita mengatas namakan diri kita konselor, maka konselor adalah sebuah profesi, dan kerana sebuah profesi maka segala tindakan kita seharusnya berpatokan pada teori konseling.
Terkait dengan pertanyaan kedua, apakah kita sudah melakukan tindakan-tindakan preventif? Tindakan preventif saya lihat sebagai sebuah kegiatan yang sangat penting, karena melalui kegiatan ini, maka konselor sekolah akan dapat mendeteksi permasalahan-permasalahan siswa. Tindakan preventif ini dapat dilakukan oleh konselor dengan menyebar instrumen seperti Daftar Cek Masalah (DCM) atau Alat Ungkap Masalah (AUM) yang ada. Berdasar pada instrumen ini, maka konselor akan mendapatkan data tentang siswa yang diindikasikan memiliki masalah, sehingga pada akhirnya dapat melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Pertanyaan ketiga mengarahkan kita untuk berpikir bahwa seorang konselor memiliki kepribadian yang berbeda dengan guru pada umumnya. Konselor memiliki keterampilan-keterampilan yang berbeda dengan para guru, dan itu sangat spesifik. Salah satu keterampilan seperti mendengarkan secara aktif, bisa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Ciri-ciri seperi ini  bisa membedakan “seragam” seorang konselor dengan guru yang lainnya.
Semoga tulisan ini bisa memberikan pencerahan bagi kita semua, sayapun masih terus belajar menjadi konselor.

Kamis, 11 Januari 2018

HIPNOKONSELING GESTALT: ALTERNATIF UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI AKADEMIK SISWA

Oleh:
Boy Soedarmadji, M.Pd., C.Ht


Abstrak
Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mendeskripsikan penggunaan hipnokonseling Gestalt (HiGest) dalam upaya meningkatkan prestasi akademik siswa. Penggunaan hipnosis dalam proses konseling saat ini sudah menjadi tren bagi para konselor sekolah. Hal ini disebabkan karena proses konseling bisa menjadi semakin efisien dan efektif. HiGest merupakan salah satu strategi konseling yang menggabungkan antara strategi hipnosis yaitu Parts Therapy dan strategi konseling Gestalt yaitu kursi kosong (empty chairs). Penggabungan ini sangat memungkinkan karena latar belakang teori Gestalt yang sangat terbuka dengan perubahan-perubahan dalam dunia konseling. Pelaksanaan HiGest dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah konseling yang ada.

Kata kunci: hipnosis, gestalt, hipnokonseling, parts therapy, empty chairs, prestasi akademik

Latar Belakang
Saat ini permasalahan yang terkait dengan prestasi akademik siswa menjadi perbincangan hangat. Banyak ahli yang berupaya untuk melakukan penelitian-penelitian terkait dengan upaya menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa serta melakukan penelitian-penelitian untuk meningkatkan prestasi akademik siswa.
Wibowo (2013) menyatakan bahwa proses pembelajaran saat ini lebih berpusat pada pembelajaran tekstual, sehingga memberikan kemampuan atau keterampilan kepada siswa untuk bisa menyelesaikan masalah-masalah sosial. Kondisi seperti ini memberikan dampak bahwa para siswa memiliki ilmu yang baik tetapi rendah dalam kemampuan konsep diri. Pernyataan ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih berpusat pada domain kognitif tetapi belum menjamah domain afektif secara maksimal. Pada sisi lain, kondisi afeksi siswa yang lemah akan berakibat kepada rendahnya capaian prestasi akademik. Siswa yang memiliki konsep diri yang salah secara tidak langsung akan memiliki kontribusi pencapaian prestasi akademik.
Permasalahan lain terkait dengan masalah prestasi akademik siswa adalah belum maksimalnya layanan konseling kepada siswa. Penulis telah melakukan dialog informal dengan para peserta PLPG yang dilakukan di Universitas PGRI Adi Buana Surabaya. Beberapa temuan menarik adalah sebagian besar konselor tidak mempergunakan teori konseling dalam melaksanakan konseling dengan siswa. Perlakuan yang diberikan kepada siswa dilakukan dengan mempergunakan “ilmu warisan” berupa nasihat-nasihat dan pemberian saran/alternatif-alternatif.

Kondisi lain yang menjadi permasalahan di lapangan adalah kegiatan lain yang diampu oleh konselor. Banyak konselor yang merangkap menjadi “guru” mata pelajaran, atau konselor yang menjadi tenaga administratif seperti bendahara dan lain-lain, dimana kegiatan ini bukan merupakan tugas pokok konselor sekolah. Sejauh pengamatan penulis, pemberian tugas tambahan ini karena konselor sekolah masih dianggap memiliki waktu luang yang banyak.
Hasil dialog dan pengamatan di atas memperkuat pendapat Marshall (2004) bahwa pelaksanaan konseling masih belum menyentuh permasalahan-permasalahan mendalam dari para siswa. Hal ini terjadi karena konselor tidak memiliki keterampilan dan pemahaman terhadap teori konseling, sehingga apabila konselor hanya memahami satu teori saja, dan itu tidak sesuai dengan masalah konseli, maka layanan konseling yang diberikan menjadi tidak maksimal (Mohammad dan Rahman, 2011, p. 184).
Pemberian saran, nasihat atau alternatif penyelesaian masalah seringkali memunculkan masalah baru bagi konseli. Hal ini disebabkan ada kemungkinan saran, nasihat dan alternatif ini berbeda dengan keinginan konseli. Mungkin saat proses konseling siswa tampak mengikuti apa yang disampaikan oleh konselor, tetapi hal ini bukan berarti apa yang disampaikan oleh konselor sesuai dengan kebutuhan siswa. Siswa mengikuti “apa kata konselor” karena budaya timur yang mengharuskan “menurut” kepada orang yang lebih tua atau dituakan.

Hipnokonseling Gestalt
Bryant dan Mabbutt (2006, p. 12) menyatakan bahwa hipnosis adalah keadaan dimana pikiran manusia dikondisikan dalam keadaan relaksasi yang mendalam, lebih fokus, dan terjadinya proses yang mudah untuk diberi sugesti. Lebih lanjut, Anthony (2014, p. 33) menyatakan bahwa hipnosis merupakan sebuah kondisi dimana seseorang tidak benar-benar tidur, seseorang masih dalam kondisi sadar terhadap apa yang terjadi di sekitar mereka, mereka juga masih bisa mendengar suara terapis dengan penuh perhatian. Definisi ini dikuatkan oleh pendapat Elkins (2015, p. 6) bahwa hipnosis adalah kondisi sadar yang mencakup perhatian yang mendalam yang memiliki karakteristik adanya peningkatan kapasitas respon terhadap sugesti. Prosedur hipnosis adalah a) pre induction, b) suggestibility test, c) induction, d) deepening, e) Suggestion, f) termination.
Hipnosis membuat pikiran kita rileks karena terjadi penurunan gelombang otak dari Betha (14-28 cps/circle per second) ke Alpha (7-14 cps) atau Tetha (3-7 cps). Dalam kondisi rileks, maka transformasi diri (self-transformation), penyembuhan diri (self-healing), dan bermotivasi (self motivated) akan lebih mudah untuk dilakukan.
Anthony (2014, p. 58-59) menyatakan bahwa untuk membuat konseli/klien merasa rilek, seorang konselor seringkali mempergunakan kata “tidur”. Hal ini bukan berarti konseli akan tidur. Konseli akan berada dalam kondisi seperti tidur, dan mereka masih sadar terhadap apa yang terjadi pada dirinya. Kondisi ini hanya menyerupai tidur.
Anthony (2014, p. 83) menunjukkan beberapa keuntungan penggunaan hipnosis yaitu, (1)  dapat menghilangkan stress dan kecemasan dan mengontrol emosi, (2) saat menggunakan hipnosis diri, maka seseorang dapat memprogram alam ambang sadar serta memberikan sugesti postifi secara kreatif, (3) mengenal hambatan dalam diri dan menghilangkannya, (4) mengontrol rasa sakit, (5) dapat menghipnitis orang lain dalam waktu singkat, (6) dapat diajarkan kepada orang lain, sehingga mereka bisa memecahkan masalahnya sendiri, (7) dapat mengenal masalah dan kemudian menyelesaikannya, (8) dapat mempergunakan imajinasinya untuk menyelesaikan masalah, (9) dapat mengembangkan hubungan baik dengan orang lain atau kelompok dalam waktu singkat, (10) dengan mempergunakan teknik “timeline” seseorang dapat menciptakan tujuan-tujuan di masa yang akan datang, (11) dapat diperoleh kepercayaan diri dengan membuat “anchor”, (12) merasa nyaman dengan orang yang “dibenci” pada masa lalu, (13) hilang rasa takut dan menjadi percaya diri, dan (14) dapat mengembangkan dan meningkatkan kekuatan phisik.
Istilah hipnokonseling saat ini masih berproses. Masih banyak para ahli konseling yang belum memiliki kesepakatan dalam penggunaan istilah tersebut. Hanya saja, beberapa ahli telah mencoba untuk memberikan definisi hipnokonseling. Gunnison (1990, p. 450) menyatakan bahwa hipnokonseling adalah pola untuk memudahkan hubungan teraputik atau sebagai katalis yang memberikan bantuan kepada konselor dalam upaya menjalankan strategi utama konseling seperti Gestalt, CBT, RET dan TA. Sarwono (2015, p. 1) menyatakan bahwa hipnokonseling adalah proses teraputik yang dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah patologi konseli seperti phobia, trauma dan ketergantungan terhadap obat-obatan, selain itu, hipnonseling juga sangat efektif untuk dipergunakan dalam proses konseling kelompok.
Dalam penulisan ini, hal menarik adalah penggunaan hipnokonseling sebagai salah satu katalis dalam beberapa pendekatan konseling. Penulis lebih memusatkan penulisan ini pada pendekatan Gestalt.
Teori Gestalt memiliki beberapa konsep penting yaitu, a) teori medan, b) fenomenologi, c) here and now, d) urusan yang belum selesai (unfinished bussiness), e) hubungan dan rintangan dalam hubungan, dan f) tenaga dan hambatan tenaga (Mann, 2010; Corey, 2013; Kolmannskog 2013; Novack, Park dan Friedman, 2013; Evans, Duffey dan Carlson, 2013).
Lewin (dalam Sabar, 2013, p. 21) menjelaskan bahawa teori medan adalah satu cara memahami dan menganalisis hubungan sebab dan akibat yang terjadi pada diri individu. Istilah medan ini mengandung makna perpaduan berbagai faktor yang ada baik di dalam maupun di luar diri individu dimana faktor-faktor itu saling berinteraksi dan saling ketergantungan. Yontef (dalam, Kolmannskog 2013, p. 180)  menyatakan bahwa medan boleh diartikan sebagai suatu kerangka kerja atau sudut pandang untuk menjelaskan sebuah peristiwa yang dialami oleh individu sebagai sebuah kejadian yang saling terhubung, saling mempengaruhi, dan saling bermakna. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa upaya untuk mengenal individu sebaiknya dilakukan dengan mengenal medan atau kondisi yang ada di sekitar individu. Kondisi lingkungan sekitar akan memberikan pengaruh terhadap perkembangan individu, dengan kata lain bahwa mengenal individu tidak akan dapat terlepas dari mengenal lingkungannya. Walaupun, bukan berarti bahwa individu pasti sama dengan lingkungannya.  
Keadaan saat ini merupakan hal penting dalam teori Gestalt. Corey (2013, p. 215) menyatakan bahwa usaha untuk memunculkan pengalaman masa lalu hanya menjadikan individu menghindari situasi-situasi yang terjadi pada saat ini. Pendapat ini bukan berarti bahwa masa lalu tidak memiliki arti penting dalam proses perkembangan individu, tetapi lebih kepada upaya menarik pengalaman masa lalu pada masa sekarang. Hal-hal terkait masa lalu yang tidak mengenakkan akan direspon secara tidak sadar oleh individu pada saat ini, dimana bentuk respon itu adalah pada bahasa non verbal individu. Saat bahasa nonverbal itu muncul, maka konselor bisa memberikan pertanyaan atau melakukan konfrontasi terhadap individu.
Palmer (2011, p. 8), bahwa ketika orang-orang terdekat (significant others) muncul dalam pemikiran individu, tetapi masih memiliki masalah yang belum terselesaikan, maka individu ini dapat dikatagorikan memiliki masalah yang belum selesai (unfinished bussiness). Hal ini seperti pendapat Corey (2013, h. 216) yang menyatakan bahwa apabila individu tidak dapat menyelesaikan masalah pada masa lalunya, maka mereka tergolong dalam katagori masalah yang belum selesai, dimana kejadian ini akan memunculkan masalah seperti kebencian, kemarahan, rasa sakit, cemas, sedih, dan rasa bersalah. Permasalahan sebagaimana disebutkan, muncul akibat individu memendam masalah-masalah yang belum terselesaikan di masa lalunya. Penumpukan masalah pada alam bawah sadar yang terjadi secara berulang-ulang akan muncul pada saat ini dalam bentuk bahasa non verbal.
Brownell (dalam Soedarmadji, Samsiah, dan Ahmad, 2017, p. 5) menyatakan bahwa definisi kontak sebagai kehidupan individu yang sebenarnya, dimana ini bisa dipahami dengan memahami individu lain dan lingkungan yang berada di sekitar individu. Corey (2013, p. 217) menyatakan bahwa apabila individu berkembang, hubungan dengan orang lain akan menjadi perhatian, apabila salah satu tumbuh, maka hubungan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Kolmannskog (2013, p. 83) kontak ialah batasan terhadap pengalaman antara "saya" dan "bukan saya".
Dalam proses konseling Gestalt, konselor lebih menekankan perhatiannya pada bahasa tubuh konseli. Perubahan-perubahan bahasa tubuh ini memiliki arti bahwa ada sesuatu (perasaan atau pikiran) yang sedang ditahan (block) oleh konseli. Corey (2013, p. 218) menyatakan bahwa keadaan ini ditunjukkan dengan beberapa tingkah laku seperti duduk dengan kaki tertutup, menarik nafas dalam-dalam, melihat sekeliling saat berbicara dengan konselor (seperti menghindari kontak mata), dan lain-lain. Perilaku-perilaku sebagaimana disebutkan tadi dilakukan dengan tidak disadari oleh konseli. Perilaku yang tidak disadari ini muncul karena adanya tekanan di alam bawah sadarnya (id).
Woldt (2009, h. 142) menyatakan bahwa tujuan terapi Gestalt adalah untuk meningkatkan kesadaran individu sesuai dengan kebutuhan individu serta latar belakang yang mngikutinya. Hal ini ditambahkan oleh Corey (2013, h. 219) bahwa tujuan terapi Gestalt adalah membantu konseli untuk memperoleh kesadaran, sehingga individu dapat mengambil suatu keputusan. Kesadaran ini meliputi pemahaman terhadap lingkungan, pemahaman terhadap diri sendiri, kemampuan menerima diri, serta kemampuan untuk menjalin hubungan dengan lingkungannya. 
Penulis mempergunakan prosedur konseling yang telah disajikan oleh Geldard (1993, p. 99) yang diuraikan sebagai berikut, a) persiapan (preparation), b) pembukaan (preamble), c) mengawali pertemuan konseling (getting staretd), d) mendengar secara aktif (active listening), e) identifikasi masalah dan klarifikasi (problem identification & clarification), f) tahap perubahan sikap (facilitating attitude change), g) menggali pilihan dan memfasilitasi aksi (exploring options and facilitating action), dan h) pengakhiran (termination).

Strategi Hipnokonseling Gestalt
Pendekatan Gestalt memiliki beberapa strategi konseling yang sudah mapan. Strategi konseling itu antara lain adalah a) kursi kosong (empty chairs), b) dialog, c) konfrontasi, d) past life regression, e) “saya bertanggungjawab akan ...”, dan masih banyak lagi. Salah satu strategi kolaborasi yang akan disajikan dalam penulisan ini adalah kursi kosong (empty chairs) dengan terapi bagian diri (parts therapy).
Corey (2013, p. 228) menyatakan bahwa teknik kursi kosong (empty chairs) adalah salah satu cara untuk membantu konseli dalam upaya mengeluarkan sesuatu yang diintrojeksi oleh individu, dimana dimana dengan mempergunakan dua kursi seorang konselor akan meminta konseli untuk duduk di satu kursi (top dog) dan berpindah ke kursi lain (under dog). Dua kursi ini akan memberikan peran yang berlawanan bagi konseli, sehingga pada akhirnya konseli akan dapat menemukan dan memahami peran masing-masing bagian dalam dirinya, serta dapat memahami pemikiran atau perasaan orang lain.  
Hunter (2016) menyatakan bahwa parts therapy didasarkan pada konsep bahwa kepribadian seseorang terdiri daripada bagian-bagian. Bagian kepribadian ini merupakan aspek dari subconscious yang mempunyai fungsi dan peran masing-masing. Dengan kata lain, kita setiap hari mempergunakan “topi” yang berbeda untuk berjalan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Proses konseling yang dilakukan dimulai dengan mempergunakan kaidah konseling geldard. Saat konselor dan konseli sudah memasuki tahapan untuk menggali pilihan dan melaksanakan aksi (exploring options and facilitating action), maka konselor akan menawarkan penggunaan strategi kolaborasi empty chairs dan parts therapy. Jika konseli setuju, maka konselor mengajak konseli untuk memahami kutub-kutub masalahnya. Berdasar pada pemahaman terhadap kutub masalah itu, maka konselor akan menjelaskan kepada konseli bahwa kutub-kutub itu merupakan bagian dari pribadi konseli yang berseberangan dan sangat memungkinkan untuk diajak berdialog.
Pada prinsipnya, konselor akan memabntu konseli untuk memasuki kondisi trance. Saat kondisi trance ini telah dicapai, maka konselor akan mengajak konseli untuk memanggil “pribadi-pribadi” yang bermasalah dengan dirinya (biasanya konflik). Setelah pribadi bermasalah muncul, maka konseli diminta untuk mendudukkan mereka dalam kursi-kursi imajiner yang telah disediakan. Selanjutnya akan dilakukan dialog antara konseli dengan pribadi-pribadi yang berkonflik dengan konseli.
Pada strategi ini, konseli tidak perlu lagi untuk berkali-kali pindah kursi dalam upaya memerankan pribadi lain yang berkonflik dengannya. Konseli akan mengamati dialog yang terjadi antara bagian-bagian dirinya yang memiliki konflik dengan pribadi lain dalam dirinya. Pada akhirnya dalam proses dialog itu akan muncul kesepakatan-kesepakatan yang akan dipergunakan oleh konseli untuk berperilaku.

Strategi Hipnokonseling Gestalt dan Peningkatan Prestasi Akademik Siswa
Beberapa konseli seringkali mengadu bahwa dirinya tidak disenangi oleh guru mata pelajaran tertentu. Hal ini ditunjukkan dengan nilai mata pelajaran tertentu hasilnya di bawah KKM. Masalah ini pada dasarnya adalah masalah-masalah yang terkait dengan urusan yang belum selesai antara konseli dengan guru bidang studi. Konflik ini sering muncul, dan konseli selalu mengatakan bahwa guru mata pelajarn itu membenci dirinya, atau guru mata pelajaran itu tidak memahami dirinya.
Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa permasalahan siswa khususnya tentang prestasi akademik seringkali muncul karena adanya urusan yang belum selesai (unfinished bussiness). Kondisi-kondisi yang terkait dengan masa lalu siswa yang belum terselesaikan (mis: konflik dengan significant others) akan berujung pada perilaku-perilaku yang menyimpang pada saat ini. Masalah tersebut seringkali tidak/belum terselesaikan karena siswa tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikannya, dan kemudian memilih untuk memendam masalah tersebut ke alam bawah sadarnya. Upaya memendam masalah ke alam bawah sadar ini dilakukan dengan tidak disadari oleh siswa, dan ini berlangsung lama. Secara tidak disadari pula, penekanan masalah yang belum selesai ini dilakukan secara berulang-ulang.
Jika kita memperhatikan teori psikoanalisa, maka sesuatu yang tidak disadari tersebut akan dapat muncul jika siswa dalam kondisi ambang sadar. Munculnya permasalahan itu dalam bentuk lain yang tidak disadari oleh individu. Bentuk atau wujudnya adalah dalam perilaku-perilaku tertentu, terutama perilaku non verbal.
Saat konseli melaksanakan strategi kursi kosong-terapi bagian diri, makna sebenarnya adalah memberikan kesempatan kepada keinginan atau kebutuhan (id) yang tersampaikan menjadi keluar. Dalam dialog itu, sesuatu yang tidak bisa dikeluarkan akan dimanifestasikan dalam bentuk pribadi lain (sosok orang lain) yang memiliki konflik dengan konseli. Pribadi lain ini bisa satu, dua atau lebih yang dapat dimunculkan oleh konseli.
Konselor Gestalt akan mengamati bahasa-bahasa tubuh konseli saat melakukan dialog dengan pribadi-pribadi lain ini, dan konselor dapat langsung bertanya kepada konseli terhadap perubahan-perubahan bahasa tubuh yang muncul, bahkan konselor dapat melakukan konfrontasi kepada konseli.
Tahap akhir dari proses konseling ini adalah membuat simpulan dari proses dialog antara konseli dengan pribadi-pribadi lain dalam dirinya. Simpulan ini biasanya merupakan kesepakatan-kesepakatan yang dicapai dari hasil dialog, yang akan dilakukan oleh konseli setelah berakhir sesi konseling.


Simpulan
Penanganan masalah siswa membutuhkan strategi konseling yang efektif dan efisien, artinya efektif dalam menyelesaikan masalah serta efisien penggunaan waktu. Penggunaan strategi HiGest dapat membantu mengatasi masalah prestasi akademik siswa yang disebabkan masalah-masalah pribadi seperti urusan yang belum selesai.

Referensi
Bryant, Mike., Mabbutt, Peter. (2006). Hypnotherapy for Dummies. West Sussex: John Wiley & Sons, Ltd.
Corey, Gerald. (2013). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (8th ed). California: Thomson Brooks/Cole.
Elkins, Gary R., et all. (2015). Advancing Research and Practice: The Revised APA Division 30 Definition of Hypnosis. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, Intl. Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 63(1): 1–9, 2015.
Geldard, David. (1993). Basic Personal Counseling: a training manual for counselor (2nd ed). New York: Prentice Hall
Gunnison, Hugh. (1990). Hypnocounseling: Ericksonian Hypnosis for Counselors. Journal of Counseling and Development; Mar 1990; 68, 4; ProQuest pg. 450.
Hunter, Roy, C. 2016. What Is Parts Therapy? https://www.hypnosis.org/free-hypnosis/hypnosis-hypnotherapy-articles/c-roy-hunter/what-is-parts-therapy.php
Kolmannskog, Vikram. (2013). What Gestalt Approaches Can Contribute to Climate Change Transformation. Journal of Sustainable Development. Vol. 6, No. 10; 2013.
Mann, Dave. 2010. Gestalt Therapy: 100 Key points and techniques. Sussex: Routledge
Mohammad, Zakaria., Rahman, Asyraf. (2011). Counseling Practitioners in Malaysia: Socio-Demographic Profile and Theoretical Approaches in Counseling Process. International Journal of Business and Social Science. Vol. 2, No, 22, December 2011 p. 184
Palmer, A, Kendra. (2011). Gestalt Therapy in Psychological Practice. http://www.studentpulse.com/articles/595/gestalt-therapy-in-psychological-practice
Sabar, Stephanie. (2013). What’s a Gestalt? Gestalt Review, 17(1):6-34, 2013.
Sarwono, Budi. (2015). Truly Hypnocounseling. https://www.usd.ac.id/fakultas/ pendidikan/bk/daftar.php?id=artikel&noid=3&offset=0
Wibowo, Mungin, Edy. (2013). Kurikulum 2013: Optimalisasi Peran Guru BK. http://bangka.tribunnews.com/2013/01/28/kurikulum-2013-optimalisasi-peran-guru-bk

Woldt, Ansel, L. (2009). Gestalt Pedagogy-Creativity in Teaching. Gestalt Review, 13(2):135-148, 2009.

Kesurupan .......... Tulisan ini mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang proses terjadinya kesurupan massal yang menjadi fe...